Powered By Blogger

Sabtu, 24 September 2011






Tak terasa dua tahun aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa 

harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu

 berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku

 ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.

Takukah engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa aku dengan

 mudah berkata “cinta” kepada mereka yang tak kucintai namun kepadamu, lisan ini seolah

 terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu

, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai 

walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma

 takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa 

itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan

 lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.

Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada 

aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000

 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti 

bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku 

mengerti bahwa aku harus mengalah.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku,andai aku boleh berdoa kepada Tuhan,

 mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit 

saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus 

mengingatmu. Jarang aku memandang wanita, namun satu pandangan saja mampu 

meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini.Andai aku buta,tentu itu lebih baik daripada harus

 kembali lumpuh seperti ini.


Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapa
t

. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangka tentangmu tentang dia 

karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan,mereka memintaku untuk membuka

 tabir lisan ini juga untuk menutup semua rasa prasangmu terhadapku. Namun di titik yang 

lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah 

tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu (andai

 itu bukan suatu mimpi).

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin aku bukanlah pejantan tangguh

 yang siap untuk segera menikah denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang harus ku

 kelola dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang 

dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya 

memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke

 sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin BERPACARAN

 denganmu.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun tak

 akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-

saat indahku hanya akan kuberikan kepada BIDADARI-ku. Wahai engkau yang telah 

melumpuhkan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih bidadari-ku bila dia bukanmu.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang 

paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa 

malu,tentu aku telah meminangmu bukan sebagai istriku namun sebagai kekasihku.

Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku 

bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus 

mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku hanya 

demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.

Aku yang tidak mengerti diriku…

Ingin ku meminta kepadamu,sudikah engkau menungguku hingga aku siap dengan tegak

 meminangmu dan kau pun siap dengan pinanganku?! Namun wahai yang telah 

melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini 

pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu. .. aku 

takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan

 waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana mungkin kau telah 

menimang cucu-mu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama 

mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan

 menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita

 berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan

 Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar 

iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu 

ini pada tempatnya.

Wahai engkau yang sekarang kucintai,semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.